Syiah dalam Tasawuf Rumi

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan bukti tekstual dalam mendukung kecenderungan Syiah dalam Tasawuf Rumi yang diambil dari Matsnawi. Syi’isme, dalam bentuk hakikinya, percaya pada wilayah (otoritas) Imam Ali dan sebelas imam dari keturunannya, menyusul mangkatnya Nabi Muhammad saw. Allah telah memilih Ali dan keturunannya, sebagai penerus kerohanian dan keagamaan yang sejati dari Nabi Muhammad saw, yang setelahnya akan senantiasa ada seorang wakil dari keluarga Ali untuk membimbing dan memimpin manusia. Tulisan ini membahas tiga jenis wilayah: matahari, bulan, dan bintang.

Seyed G. Safavi

Interpretasi atas teks Matsnawi melalui teknis riset ‘konseptual,’ ‘sinoptis,’ dan ‘lingkaran ‘hermeneutik’ memperjelas bahwa Maulana Jalaluddin Rumi menghormati kedudukan dan jabatan Imamah yakni otoritas, wilayah Allah, Nabi Muhammad saw, dan dua belas penerusnya yang ditunjuk oleh Allah. Dalam konteks ini, Maulana memfokuskan pada wilayah Imam Ali, penerus Nabi Muhammad saw yang pertama.
Menurut Dr. Shahram Pazouki:
Maulawi (Rumi) adalah seorang Syiah, bukan dalam arti yang dipakai oleh fukaha atau teolog dialektis sekarang, tetapi dalam makna sebenarnya, yakni Allah hanya menunjuk wali, percaya pada kesinambungan spiritualitas dan walayah Nabi Muhammad saw dalam pribadi Imam Ali dan putranya yang ditunjuk oleh Allah. Allah menunjuk Ali sebagai penerus kerohanian dan wali sepeninggal Nabi Muhammad saw dan percaya bahwa setelah Nabi senantiasa ada pembimbing spiritual, wali, dari keluarga Imam Ali dalam kafilah cinta. Maka, di sini ada perbedaan antara Syiah Spiritual dan Syiah Fikih. Baca lebih lanjut

Kulkasku Sayang Kulkasku Malang

kulkas.jpg

Tampaknya memiliki lemari es (sering disebut kulkas) untuk masyarakat modern bukanlah suatu hal yang mewah. Boleh dibilang lemari es sudah sama kedudukannya dengan makanan atau minuman. Ia bisa dijangkau dengan harga yang relatif murah dan bisa dicicil lagi.

Tapi hal yang sama rupanya tak dijumpai bagi Heru Cokro. Sudah lama ia dan istrinya mengidamkan sebuah lemari es. Bukan karena tetangga sudah memilikinya dan ia ikut-ikutan ingin memilikinya. Tidak begitu. Sebetulnya Heru sudah merasakan manfaat kulkas itu ketika ia masih tinggal di kontrakan. Ia bisa dengan cepat sarapan karena istrinya tinggal ngangetin masakan saja. Namun, karena satu dan lain hal akhirnya lemari es itu tinggal kenangan. Baca lebih lanjut

Aktivitas-aktivitas Jiwa Menurut Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra

Sayyid Husain Waizi

 

KETERPAUTAN jiwa pada tubuh, menyangkut eksistensi dan individuasinya (tasyakhhus), merupakan keterikatan sementara dan bukan urutan subsisten. Pada tahapan perwujudan awalnya, dan sekaitan dengan asal-usul temporal, jiwa tergantung pada materi, dalam urutan selanjutnya, melampaui semua ketergantungan tersebut.

Semula, jiwa menyerupai fakultas-fakultas lain yang merupakan watak materi, dan tergantung kepadanya —suatu bentuk materi yang samar dan tak dapat dispesifikasi, yakni tubuh itu sendiri. Kendatipun tubuh ini mengalami perubahan dan transformasi sepanjang masa hidupnya, jiwa senantiasa terikat pada tubuh yang tidak menentu dan samar ini. Yakni, sekaitan dengan jiwa, manusia mempunyai kepribadian tunggal, yang berlawanan dengan tubuh dari jiwa, yang tidak identik, dalam suatu perubahan dan transformasi konstan. Baca lebih lanjut

The Divine Names

ambigram.jpg

The philosophical world-view of Ibn Arabi is a world-view of self-manifestation (tajjali), for as long as the Absolute remains in its absoluteness there can be nothing in existence that may be called the ‘world’, and the word ‘world-view’ itself would lose all meaning in the absence of the world.

On the world’s side, the principle of tajalli is the ‘preparedness’ (or ontological aptitude), and the same principle of tajalli from the standpoint of the Absolute is constituted by the Divine Names. Baca lebih lanjut

The Shadow of the Absolute

shadow.jpg

According to Ibn ‘Arabi, “The world is the shadow of the Absolute”. The world, as the shadow of the Absolute, is the latter’s form, but it is a degree lower than the latter.

He said, “Know that what is generally said to be ‘other than the Absolute’ or the so-called ‘world’, is in relation to the Absolute comparable to shadow in relation to the person. The world in this sense is the ‘shadow’ of God.

In Ibn ‘Arabi’s thought, there is nothing other than the Absolute. This statement is not merely a popular expression, because it has some reason as well. Philosophically or theologically, the world is a concrete phenomenal form of the Divine Names, and the Divine Names are in a certain sense opposed to the Divine Essence. The world is surely ‘other than the Absolute’. Baca lebih lanjut

Konsep-konsep Kunci Metafisika Ibn ‘Arabi: Wujud dan Adam (II)

Urain ontologis Ibn ‘Arabi tentang wujud dan ‘adam dalam karyanya Insya’ ad-Dawâir perlu dipaparkan di sini. Bagi Ibn ‘Arabi, wujud dan ‘adam bukan suatu tambahan terhadap mawjud (selanjutnya, maujud, yang ada yang berwujud) dan ma’dum (yang tiada, yang tidak berwujud), tetapi sama dengan maujud dan ma’dum itu sendiri. Ia menolak bayangan atau anggapan estimasi (waham) bahwa wujud dan ‘adam adalah sifat yang melekat pada maujud dan ma’dum. Ia mengibaratkan wujud menurut anggapan estimasi ini dengan sebuah rumah. Sesuatu baru ada wujudnya apabila ia masuk ke dalam rumah wujud. Jika tidak, ia tidak mempunyai wujud. Wujud dalam pengertian ini, menurut Ibn ‘Arabi, adalah penegasan entitas (‘ayn) sesuatu dan ‘adam adalah penafiannya. Inilah pengertian pertama tentang wujud. Baca lebih lanjut