Napas Sang Pengasih

“Ya Allah, masukkanlah kebahagiaan kepada penghuni kubur. Ya Allah, kayakanlah setiap orang yang fakir. Ya Allah, kenyangkanlah setiap orang yang lapar. Ya Allah, kenakanlah pakaian kepada setiap yang telanjang. Ya Allah, lunasilah utang setiap orang yang berutang. Ya Allah, bebaskanlah setiap orang yang menderita. Ya Allah, kembalikanlah setiap orang yang terasing … ”

Penggalan doa Nabi saw ini—berdasarkan riwayat Syekh Kaf’ami dalam buku Mafatih al-Jinan—mungkin belum cukup populer bagi sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Menurut perawi, doa inilah yang selalu dilantunkan beliau setiap bakda salat fardu di bulan Ramadan.
Dari kandungannya, doa ini begitu sederhana namun sesungguhnya mewakili kebutuhan kita, umat Islam. Malah, sebenarnya ia menggambarkan kebutuhan-kebutuhan fitriah manusia secara universal.
Di tangan Allamah Abu Muhammad Zainul Abidin, doa yang tersusun dalam empat belas bait ini menjadi begitu kontemplatif, kombatif, dan konstruktif karena sang penulis membubuhinya dengan ulasan-ulasan menakjubkan dari berbagai perspektif: tafsir, riwayat, falsafi, maupun irfani. Karena itu, pendoa pada akhirnya barangkali akan bertanya-tanya: benarkah dirinya sudah selaras dengan kandungan doa itu ataukah hanya sebatas ”membaca” doa?
Ditulis oleh murid mufasir al-Quran abad ini, Syekh Jawadi Amuli (penulis Nabi saw dalam Al-Quran, Rahasia Ibadah), buku Napas Sang Pengasih mengajak kita kepada pesan utama bulan Ramadan: jadilah pengasih kepada sesama sebagaimana Tuhan pun mengasihi makhluk-Nya. Setelah itu, saksikanlah perubahan pada diri Anda!

Penulis : Abu Muhammad Zainul Abidin
Harga :Rp 36.000,-
Tebal : 240 hal.

Karamah Ibn ‘Arabi (2)

Ketika itu Ibn ‘Arabi pergi dengan kapal laut bersama para sahabatnya. Saat itu laut tiba-tiba berombak besar hingga kapal yang mereka naiki nyaris tenggelam. Para penumpang berlarian mendekati Ibn ‘Arabi dan berkata, “Tuan guru, kita mendapatkan cobaan yang berat dan kita hampir saja celaka, sementara Anda seorang guru yang mulia. Doakan kepada Allah agar Dia menghilangkan apa yang diturunkan kepada kita.”

Kemudian beliau berkata, “… Dengan karunia dan pertolongan Allah.” Beliau berhenti di puncak kapal dan berkata kepada laut, “Tenanglah hai laut kecil. Di atasmu sekarang ada lautan ilmu.” Laut pun lalu tenang dan lenyaplah ketakutan para penumpang.

Lalu seekor makhluk muncul dari laut dan berkata, “Hai pemimpin para arif, aku ingin bertanya tentang si perempuan yang suaminya berubah menjadi kera atau menjadi batu, apakah iddah yang tepat untuknya?” Beliau diam tak mengetahui jawabannya. Lalu beliau mendapatkan bisikan dari Rasulullah saw yang berkata kepadanya, “Katakan kepada makhluk itu, jika si suami berubah menjadi kera, maka iddah wanita tersebut adalah iddah talak, dan jika berubah menjadi batu, iddahnya adalah iddah mati.”
Si makhluk lalu berkata, “Panjatkan shalawat kepada yang mengajarimu.” Ternyata makhluk itu adalah jelmaan Nabi Khidhir as.
(Sumber: “Wahai Anakku”) Baca lebih lanjut

Karamah Ibn ‘Arabi (1)

Menjelang kelahiran Ibn ‘Arabi pada 17 Ramadhan, malam Nuzulul Quran (menurut salah satu versi)–yang dijadikan isyarat oleh para pengagumnya akan kepiawaian Syaikh al-Akbar dalam “menafsirkan” al-Quran–saya akan kutipkan beberapa karamahnya.

Ibn ‘Arabi sering mengikuti zawiyah Al-Ghazali di Masjid Jamik Damaskus. Zawiyah tersebut adalah ujung tembok antara Barat dan Timur, yang ditujukan untuk memperoleh berkah dari Imam Ghazali.
Suatu hari guru zawiyah ini tidak hadir, sementara Syaikh Muhyiddin hadir. Para ahli fiqih di sana lalu berkata, “Tuan, sampaikan satu pelajaran dan uraikanlah untuk kami!” Beliau menjawab, “Saya ini sebenarnya bermazhab Maliki, tetapi apakah materi yang kalian pelajari kemarin?” Mereka lalu menunjukkan salah satu bagian dari kitab al-Wasith sebuah karya fiqih monumental dari Imam Ghazali.
Kemudian Ibn ‘Arabi menyampaikan salah satu materi dari kitab tersebut dan menjelaskannya secara panjang lebar, hingga mereka berkomentar, “Kami belum pernah mendengar pembahasan sebagus ini sebelumnya.”
***
Ibn ‘Arabi menulis kitab al-Futuhat al-Makkiyah ketika di Makkah. Lalu saat beliau tiba di Irak orang-orang menanyakan kitab itu kepadanya. Ia menjawab, “Naskahnya ada di Makkah.” Mereka berkata, “Wah, kita harus mempunyainya.” Beliau pun mendiktekan kitab itu berdasarkan hapalan beliau. Saat naskah Makkah itu tiba di Irak, ternyata tidak ada perbedaan sama sekali dengan yang didiktekan.
***
Al-Manawi berkata, “Salah satu karamah beliau diceritakan oleh salah seorang muridnya, Shadruddin Qunawi. Katanya, ‘Guru kami, Syaikh Ibn ‘Arabi mampu bertemu ruh siapa saja dari golongan nabi dan para wali terdahulu yang dia kehendaki dengan tiga cara: pertama, beliau menarik ruhaninya di alam ini dan menjumpainya secara fisik dalam bentuk yang sempurna yang mirip dengan bentuk fisik terbaik yang dimilikinya waktu masih hidup di dunia; kedua, dengan cara menghadirkannya dalam mimpi; dan ketiga, dengan cara beliau melepaskan diri dari jasadnya dan menjumpai ruh yang dikehendakinya.'”
(Sumber: “Wahai Anakku”)

Adab Makan

Makanlah makanan orang miskin yang akan makan dan meninggalkan meja tanpa rasa kenyang. Jangan minum selama makan dan kurangilah air yang kamu minum. Jangan terima perlakuan khusus selama kamu makan. Jangan pamerkan dan sok aksi. Jangan pernah menunjukkan rasa laparmu. Ukurlah jumlah makanan yang kamu makan agar kamu hanya memuaskan kebutuhanmu seperlunya. Suapanmu sebaiknya tidak besar maupun kecil. Ingatlah Allah pada setiap suapan, dan kunyahlah dengan baik sebelum kamu telan. Setiap kali kamu menelan, beri kesempatan pada makanan itu untuk turun dalam perutmu dan pujilah Tuhanmu.

Kutipan di atas saya ambil dari buku Selamat Sampai Tujuan, sebuah risalah sufi praktis dari Ibn ‘Arabi. Sengaja saya jadikan pembuka dalam tulisan ini mengingat relevansinya yang kuat di bulan Ramadhan. Mengapa demikian? Karena di bulan Ramadhan ini, yang sedianya puasa diwajibkan agar manusia bisa mengendalikan diri, sebagian orang-orang yang berpuasa malah menunjukkan keganasannya sebagai makhluk “omnivora”.

Betapa tidak. Waktu berbuka menjadi saat-saat menegangkan bagi para pemburu kuliner. Malah, rencana untuk berbuka di tempat mana dan dengan apa sudah dirancang sejak dini hari ketika makanan sahur belum selesai disantap. Sehingga, tak jarang, dengan pola makan dan gaya hidup yang tak berubah, sebagian orang malah tetap memiliki berat badan yang stabil. Malah seseringnya bertambah.

Kalau sudah demikian, ada baiknya kita kembali merenungkan pesan Ibn ‘Arabi tentang adab makan yang saya kutipkan di muka. Seluruh paragraf yang dikutip, pada intinya, memerikan satu hal saja: pengendalian diri. Dengan pengendalian diri, Ibn ‘Arabi mengajak kita untuk mengurangi segala kenikmatan, seperti makanan. Beliau menyeru kita (atau tepatnya calon pesuluk) untuk menyantap makanan yang sederhana sebagaimana yang dikonsumsi oleh orang miskin dan menyesuaikannya dengan kebutuhan yang diperlukan kita. Ini dimaksudkan, menurut saya, dengan makanan seperti itu akan membawa kita kepada kerendahan hati. Dengan kerendahan hati, sangat dimungkinkan bagi kita untuk bisa secara mudah mengingat Allah dalam setiap suapan. Karena kita akan mengingat rezeki yang dikaruniakan oleh-Nya kepada manusia.

Selaras dengan itu, jauh-jauh hari Imam Jafar Shadiq mengingatkan dalam Lentera Ilahi bahwa makan karena dorongan kebutuhan adalah untuk orang yang suci. Menikmati makan terlalu banyak, tambahnya, akan menimbulkan dua akibat: kekerasan hati dan bangkitnya nafsu. Kekerasan hati akan mempersulit diri untuk menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukan. Apalagi menangisinya sebagai buah dari penyesalan.

Semoga pesan spiritual mereka berdua ini lebih mudah dicerna bagi para shaimin. Amin

Renungan 13 Agustus

Saya tidak meninggalkan apa yang langsung bisa dilihat, supaya bisa memburu apa yang memakan oleh waktu. Saya meninggalkan apa yang dimakan oleh waktu supaya bisa mengejar apa yang bisa langsung dilihat. Karena Dia Yang Diberkati pernah menyatakan bahwa kenikmatan sensual membuang waktu dan penuh dengan penderitaan, penuh dengan keputusasaan, dan bahaya di dalamnya lebih besar lagi. Sementara Dharma ini langsung bisa dilihat, di dekat kita, mengundang kita untuk datang dan melihat, bisa diterapkan untuk secara pribadi dialami mereka yang bijak. (Untaian Mutiara Kebajikan, hal.226)