In Memoriam Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w. 22 Rabiul Akhir 1165)

Suatu hari,  salah seorang musuh Ibn ‘Arabi jatuh sakit. Sang Syekh pergi menjenguknya. Dia mengetuk pintu dan memohon kepada istri si sakit untuk memberitahu (suaminya) bahwa dia ingin menjenguknya. Wanita itu menyampaikan pesannya dan, sekembalinya, menyampaikan kepada Syekh bahwa suaminya tidak  ingin bertemu dengannya. Syekh tidak punya urusan di dalam rumah ini, demikian sang istri memberitahunya.Tempat yang pantas baginya adalah gereja.

Syekh berterima kasih kepada wanita itu dan mengatakan bahwa karena orang baik seperti suaminya tentu tidak akan mengirimnya ke tempat yang buruk, dia akan menuruti saran itu. Maka setelah berdoa bagi kesehatan dan kesejahteraan orang sakit tersebut, syekh pun berangkat ke gereja.

Ketika dia tiba, dia melepas sepatunya, masuk dengan rendah hati dan sopan. Lalu secara perlahan dan tenang berjalan ke sebuah sudut, tempat dia duduk. Pendeta tengah menyampaikan khotbah yang didengarkan Ibn ‘Arabi dengan penuh perhatian. Di tengah-tengah khotbah, Syekh merasa si pendeta telah memfitnah Isa as dengan menisbahkan kepadanya pengakuan bahwa dia adalah anak Allah. Syekh berdiri dan dengan santun menolak ini.

“Bapak pendeta yang terhormat,” demikian dia memulai,  “Isa yang suci tidak mengatakan hal itu. Sebaliknya, dia meramalkan kabar gembira tentang datangnya Nabi Ahmad (Muhammad saw).”

Pendeta itu menolak bahwa Isa telah berkata demikian. Perdebatan terus berlangsung. Akhirnya Syekh, seraya menunjuk gambar Isa di dinding gereja itu, memerintahkan sang pendeta untuk bertanya langsung kepada Isa. Dia akan menjawab dan memutuskan masalah itu sekali dan buat semua.

Sang pendeta menolak keras seraya menyatakan bahwa gambar tidak dapat berbicara. Gambar ini tentu, demikian Syekh menegaskan, demi Allah yang telah membuat Isa berbicara saat masih berbicara di pangkuan Perawan Suci, juga akan mampu membuat gambarnya berbicara.

Jamaah yang mengikuti perdebatan yang sengit itu tertarik oleh pernyataan terakhir ini. Sang pendeta terpaksa berpaling pada gambar Isa dan berbicara kepadanya, “Wahai anak Allah, tunjukkan pada kami jalan yang benar. Katakan kepada kami mana di antara kami yang benar dalam pernyataan kami.”

Dengan kehendak Allah, gambar itu berbicara dan menjawab, “Aku bukan anak Allah, aku adalah utusan-Nya, dan sesudahku datang nabi yang terakhir, Ahmad yang suci; kuramalkan hal itu kepadamu, dan kunyatakan kembali kabar gembira ini sekarang.”

Dengan keajaiban ini, semua jamaah menerima Islam, dan dengan dipimpin oleh Ibn ‘Arabi, mereka berbaris melewati jalan-jalan menuju masjid. Ketika mereka melewati rumah orang sakit itu, dia terlihat berada di dalam rumah, matanya terbelalak heran, seraya melihat ke luar jendela ke arah pemandangan ganjil ini. Sang wali berhenti, memberkati dan berterima kasih kepada pria yang telah menghinanya itu, seraya berkata bahwa dia terpuji atas keselamatan semua orang itu.

(Ibn ‘Arabi, Risalah Kemesraan, (Jakarta: Serambi, 2005), hal.21-23.

5 thoughts on “In Memoriam Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w. 22 Rabiul Akhir 1165)

  1. adee berkata:

    kisahnya menarik sekali,mohon izin share ya kak..

  2. gayatri wedotami berkata:

    wah, indah sekali cerita-nya…mohon izin share juga ya…

  3. bobbie sumarna berkata:

    mohon maaf…bisa bantu gak yacopykan buku risalah kemesraan nya ibnu arabi,saya udah hunting kemana-mana selalu habis stoknya…bagi yang mau menolong saya ucapkan terima kasih sbnyk-bnyaknya…biaya copy dan ongkos kirim akan saya ganti

Tinggalkan komentar